Wacana Presidential Threshold nol persen tindakan ego Politik

0
790

Publik tidak boleh terbius atas wacana presidential threshold (PT) 0%. Sebab, usulan tersebut tidak lepas dari kepentingan dan kekuatan real politik dari partai dan politisi yang mengusulkan. Sebenarnya sangat mudah mengetahui motif politik mereka. Fakta komunikasi politik menunjukkan, usulan itu acapkali datang dari partai yang perolehan kursi di DPR pusat pada Pileg 2019 berada di papan menangah, lebih lagi dari papan bawah. Kemudian partai yang tidak masuk parlemen pada Pileg 2019 dan partai yang baru berdiri lebih cenderung menginginkan PT 0% agar partainya dapat mengusung Paslon Pilpres 2024. Jadi, sangat kental dengan politik prakmatis.

Jika para pewacana mengatakan agar banyak pilihan Paslon Pilpres 2024 bagi rakyat, ini jelas hanya pepesan kosong. Utamanya, mereka ingin mewujudkan kepentingan politik dengan seolah “berlindung” agar lebih banyak pilihan bagi rakyat sebagai dasar argumentasinya. Padahal, saya pastikan tidak demikian.

Sekalipun akan menimbulkan berbagai persoalan bidang politik ke depan karena demokrasi belum dewasa, termasuk kemungkinan terjadi deparpolisasi, mengapa mereka tidak menawarkan PT di luar rentang jumlah 0 hingga 100% ? Misalnya, menawarkan alternatif dari dua kemungkinan. Pertama, dibuka kanal jalur independent, seperti pada Pilkada. Atau kedua, setiap WNI secara individu berhak menjadi Paslon Pilpres 2024. Salah satu dari dua alternatif ini tidak mengumandang di ruang publik oleh mereka, karena jauh dari kepentingan kekuasaan partai mereka sendiri, seperti kata orang bijak, “panggang masih jauh dari api”. Jika PT 0%, sosok yang mereka usung di Pilpres, misalnya, menawarkan tokoh “pendobrak”, dapat mendongkrak suara bagi partainya.

Padahal, jika salah satu dari dua hal tersebut ditawarkan, maka sangat bisa diterima akal sehat mengedepankan kedaulatan rakyat. Tentu, harus disertai argumentasi solutif berbagai permasalahan yang mengikuti dari salah satu dua alternatif tersebut. Jadi, tidak boleh sekedar mewacanakan model penetapan Paslon Pilpres tanpa menawarkan pemecahan masalah yang meyertainya.

Anehnya lagi, tawaran di luar PT O – 100% tidak dikemukakan secara masif, terstruktur dan sistematis ke ruang publik, karena mereka tampaknya tetap menginginkan penentuan Paslon Pilpres 2024 agar partai tetap pegang kendali. Ini persoalan permainan kekuasaan melalui kemasan/konstruksi pesan komunikasi politik. Jadi, partai dan tokoh sentral, pengendali, faksi dominan serta pemilik logistik partai tidak mau melepaskan begitu saja dominasi tersebut.

Dengan lontaran pesan komunikasi politik semacam itu, sebenarnya sekaligus menunjukkan jati diri politik partai dan aktor politik yang bersangkutan. Mereka belum sepenuh hati berpolitik untuk rakyat, tetapi sebagai tindakan ego politik orientasi politik prakmatis. Untuk itu, saya menyarankan kepada publik agar kritis memahami menangkap hakekat makna dari perilaku komunikasi politik para elit politik.

Terlepas dari kepentingan politik yang diuraikan di atas, sistem pemilihan presiden tanpa PT atau 0%, belum bisa digunakan saat ini hingga sampai awal terjadinya sistem demokrasi substansial di Indonesia. Kemudian, PT 0% itu hanya bisa dilakukan di negara yang sudah matang demokrasinya dan jumlah partainya maksimal tiga. Jika PT 0% diberlakukan pada Pilpres 2024, akan membuka pintu yang lebar bagi tokoh ataupun partai politik untuk mengajukan sosok tertentu, yang menurut subyektivitas mereka terbaik. Padahal belum tentu.

Selain itu, masalah serius bisa muncul jika terjadi penghapusan PT atau 0% pada Pilpres 2024. Paslon Pilpres bisa saja sepuluh, bahkan bisa melampaui. Sekalipun Pilpres 2024 kemungkinan tetap terjadi dua putaran, karena dua paslon urutan teratas perlolehan suara pada putaran pertama maju ke putaran kedua, namun jangan salah, sangat berpeluang mobilisasi suara dari partai dan atau Paslon yang kalah pada putaran pertama ke salah satu dari dua Paslon pada putaran kedua, sehingga terbuka lebar pemanang kedua pada putaran pertama menjadi pemenang pada putaran kedua. Jika ini yang terjadi dapat merusak tatanan demokrasi substansial itu, karena kedaulatan rakyat tergadaikan oleh elit dan atau partai.

Sebab, kontestasi politik di Indonesia masih cenderung pada capaian tujuan yaitu bagaimana memenangkan jumlah suara, “seperti politik menawarkan sorga”, bukan mengedepankan pertarungan gagasan, ide dan program yang terukur secara ekonomi dan sosial budaya yang inklusif dan pro rakyat. Pada situasi semacam ini tak terhindarkan mengemuka politik identitas sempit yang tidak sesuai dengan kebhinnekaan kita. Setelah Pilpres selesai, celakanya lagi, aktor politik yang kalah, mau pula menjadi bagian dari kabinet presiden terpilih dengan berbagai argumentasi pembenaran, sehingga demokrasi dan praktek sistem politik kita di Indoensia masih anomali.

Upaya memperjuangkan PT 0% juga dilakukan aktor politik ke Mahkamah Kontitusi (MK). Ini hak konstitusional yang tdak lepas dari tujuan politik. Sebab, tidak ada perlaku sosial, termasuk perilaku hukum, berada di ruang hampa. Pasti saling terkiat dengan bidang lainya. Dalam Sosiologi dikenal sebagai proses sosial, hubungan saling pengaruh antar berbagai bidang kehidupan sosial. Karena itu, para pihak yang mengajukan gugatan ke MK dan meminta PT 0%, tentu memiliki kepentingan politik. Mereka bisa saja berada di kelompok partai politik yang memperoleh suara kecil pada Pemilu 2019 atau secara langsung atau tidak berafiliasi dengan partai-partai kecil itu.Yang pasti, tidak ada tindakan mereka yang tidak bermaksud tertentu, termasuk kemungkinan politis.

Sebab, persoalan ambang batas pencalonan presiden 20% bisa diperdebatkan, tergantung elit politik dan publik memandang dari perspektif atau kepentingan apa. Namun tujuannya jelas untuk membentuk opini pubilik dalam rangka mempengaruhi proses politik dan atau keputusan politik. Oleh karena itu, saya mengajak masyarakat supaya lebih kritis melihat diskusi dan wacana tentang PT 0% tersebut. Menurut hemat saya, gagasan menghapus PT atau 0% hanya akan sebatas wacana, karena PT 20% lebih rasional dan pas untuk Indonesia hingga elit politik di negeri ini dewasa berpolitik dan dengan tiga partai.

Oleh : Dr. Emrus Sihombing
Komunikolog Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here