Lingga – batamtimes.co – Di tengah kegelapan malam Ramadan, lentera-lentera kecil mulai menyala di sudut-sudut perkampungan. Cahaya mereka menari dalam keheningan, menjadi simbol penerangan di sepuluh malam terakhir bulan suci. Malam Tujuh Likur, tradisi turun-temurun masyarakat Melayu, kembali hadir meski dalam suasana yang lebih sederhana dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Bagi masyarakat Melayu, Malam Tujuh Likur bukan sekadar ritual menyalakan lampu pelita atau menghias lingkungan. Lebih dari itu, ia adalah wujud kebersamaan, gotong-royong, dan penghormatan terhadap warisan budaya yang telah bertahan berabad-abad. Namun, seperti banyak tradisi lainnya, tantangan zaman perlahan menguji keberlangsungannya.
Nyala yang Kian Redup
Di Kelurahan Daik, Lurah Nasrun Efendy mencoba menjaga semangat tradisi ini dengan mengadakan lomba menghias pintu gerbang. Sayangnya, antusiasme masyarakat tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Dari 14 RT yang ada, hanya 4 RT yang berpartisipasi.
“Susah saat ini mendapatkan sponsor untuk pembuatan pintu gerbang, ekonomi warga sedang tidak baik-baik saja,” ujar salah satu ketua RT yang enggan disebut namanya.
Kelesuan ekonomi memang menjadi faktor utama berkurangnya semarak perayaan ini. Biasanya, masyarakat berbondong-bondong menyumbang dan bergotong-royong menghias lingkungan. Namun kini, banyak yang memilih mengutamakan kebutuhan sehari-hari.
Pak Ucok, Ketua RT Kampung Sawin, juga merasakan perubahan tersebut. “Biasanya warga antusias membantu kalau kita buat kegiatan. Kali ini, kita merayakan Malam Tujuh Likur dengan pintu gerbang yang sederhana saja,” ujarnya dengan nada sedikit pasrah.
Menjaga Tradisi di Tengah Perubahan
Meski dengan keterbatasan, semangat untuk menjaga tradisi tetap ada. Lurah Daik dan tim juri tetap berkeliling menilai hasil kreativitas warga yang berpartisipasi. RT Kampung Seranggung keluar sebagai juara pertama, diikuti oleh RT Kampung Bugis, Kampung Sawin, dan Kampung Darat.
Sebagai bentuk apresiasi, hadiah berupa piala, sertifikat, dan sejumlah uang sagu hati diberikan kepada para peserta. “Kami berharap penghargaan ini bisa menjadi penyemangat agar tradisi ini terus hidup, tidak hanya di generasi kita tetapi juga bagi anak-cucu kita nanti,” ujar Nasrun.
Di balik kesederhanaan perayaan tahun ini, ada harapan agar Malam Tujuh Likur tetap menjadi bagian dari identitas masyarakat Melayu. Sebab, tradisi bukan sekadar kebiasaan, tetapi juga warisan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Ketika lampu-lampu pelita kembali menyala di tahun-tahun mendatang, semoga bukan hanya cahaya mereka yang bertahan, tetapi juga semangat kebersamaan yang menyertainya.
Penulis : Cipto
Editor : Pohan