Oleh : Pormadi Simbolon
(Penulis, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Banten)
“Religius tapi Gemar Korupsi, Ada Apa?” Pertanyaan yang dimuat dalam Harian Kompas menyoroti ironi besar di Indonesia: sebuah bangsa yang mengklaim religius, tetapi tetap berada di jajaran atas dalam daftar negara paling korup. Fenomena ini menimbulkan refleksi mendalam: apakah pendidikan agama yang hanya dialokasikan 2-4 jam per minggu cukup efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral? Ataukah agama di Indonesia lebih banyak dijadikan simbol daripada dihayati sebagai pedoman hidup?
Krisis Substansi dalam Beragama
Seperti yang dikritisi Karl Marx, agama sering kali dipakai sebagai alat legitimasi oleh kelas penguasa, termasuk dalam politik dan hukum. Fenomena ini masih relevan di Indonesia, di mana agama sering muncul dalam pidato pejabat atau kampanye politik, tetapi tidak tercermin dalam tindakan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran agama belum benar-benar membatin dalam individu.
Kritik terhadap agama juga dapat diperkuat dengan melihat negara-negara seperti China dan Vietnam, yang meskipun secara historis lebih ateistik, justru memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ini menandakan bahwa keberagamaan seseorang tidak otomatis menjamin moralitasnya.
Solusi: Pendidikan Agama yang Menyeluruh dan Berpola Asrama
Salah satu solusi yang ditawarkan adalah sistem pendidikan agama berbasis asrama (boarding school). Konsep ini tidak hanya sekadar memberikan teori agama, tetapi juga membentuk karakter, kedisiplinan, dan tanggung jawab secara langsung.
Di lingkungan asrama, peserta didik hidup dalam komunitas yang menginternalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak hanya diajarkan untuk jujur dalam teori, tetapi juga dipaksa untuk mempraktikkannya dalam interaksi sosial. Dengan bimbingan guru dan pembina yang berintegritas, peserta didik akan memiliki panutan nyata dalam menjalankan nilai-nilai moral.
Pemerintahan Prabowo-Gibran yang berencana membangun sekolah unggulan seperti Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat dapat menjadi momentum untuk merevolusi sistem pendidikan nasional, termasuk dalam hal pendidikan agama. Sekolah unggulan ini tidak hanya harus fokus pada keunggulan akademik tetapi juga pada pembentukan karakter berbasis nilai-nilai keagamaan yang kokoh.
Jika bangsa ini ingin keluar dari jeratan korupsi dan membuktikan bahwa Indonesia benar-benar religius, maka agama harus lebih dari sekadar simbol atau seremonial belaka. Pendidikan agama harus diintegrasikan dengan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sistem asrama bisa menjadi langkah konkret untuk mengatasi krisis moral yang terjadi.
Namun, semua itu tidak akan berarti tanpa keteladanan dari para pemimpin, guru, dan orang tua. Jika agama benar-benar diyakini sebagai pedoman hidup, maka ia harus tercermin dalam tindakan, bukan hanya dalam kata-kata. Jika tidak, pertanyaan “Ada Apa?” akan terus menggema tanpa jawaban yang nyata.(*)