Batam- Pulau Buluh adalah Pulau yang sangat bersejarah bagi Batam, karena semua bermula dari sini.Selain Nongsa, pulau Buluh merupakan pusat pemerintahan di era masa lalu. Pada tahun 1895 Pulau Buluh adalah bagian dari ke amiran (amir dalam bahasa Arab berarti pemimpin) kerajaan Riau Lingga.
Seperti yang diketahui Amir pertama di Pulau Buluh bernama Tengku Umar bin Tengku Mahmud sedangkan di Nongsa, yang menjadi amir pertama adalah anaknya keturunan dari Raja Isa yakni Raja Mahmud bin Raja Yakup bin Raja Isa atau Nong Isa.
Untuk menelusuri jejak peninggalan Amir Pulau Buluh, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam yang dipimpin langsung oleh Kepala Dinas, Ardiwinata bersama Direktur Eksekutif Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kota Batam, Ketua Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) DPD Kepri, Donna Justitia bersama anggota, Pengelola Taman Wisata Hutan Mata Kucing serta didampingi Lurah Pulau Buluh, Borhan melakukan napak tilas atau ber heritage walk ke Pulau Buluh, Pulau Boyan dan Pulau Bulang Lintang pada Sabtu (26/2/2022).
Penelusuran pertama diawali di Pulau Buluh. Pulau ini dulunya menjadi pusat pemerintahan dan pusat perdagangan. Disini rombongan melihat pasar Pulau Buluh.
Direktur Eksekutif Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Kota Batam, Edi Sutrisno menjelaskan arsitektur bangunan dikiri dan kanan pasar sama dengan yang ada di Malaka dan Penang.
Dulunya pasar ini dikembangkan oleh tauke Tionghoa bernama Tan Iu Tse. Ia adalah seorang Taulo (dulu kepala administrasi pemerintahan orang Tionghoa, seperti Camat). Taulo tidak hanya mengurusi pemerintahan orang Tioghoa saja, tetapi juga mengurusi masalah ekonomi.
“Beliau adalah pemilik toko bahagia, toko pertama di pulau ini yang mensuplai makanan orang-orang Tionghoa,” sebutnya.
Karena Pulau Buluh menjadi pusat perdagangan dan niaga di Batam, Pulau Buluh mempunya infrastruktur yang lengkap, termasuk bioskop yang bernama capitol yang berdasarkan informasi dulu lokasinya berada di vihara sekarang, kata Edi.
Selanjutnya rombongan mengunjungi perigi tua. Orang Melayu menyebut sumur dengan perigi. Perigi ini dibangun pada tahun 1911 sebagaimana angka yang tertera didinding perigi. Dijelaskan Edi, bangunan perigi menggunakan batu bata yang dibuat Raja Ali Kelana, pemilik batu bata “Batam Brickworks” pada tahun 1896.
Menurut tokoh masyarakat Pulau Buluh Djuni Rudy Arto, perigi atau sumur ini dulunya digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci dan sebagainya, namun setelah pipanisasi masuk dari Batam, perigi ini sudah tidak digunakan lagi. Lokasi perigi dulunya berada di sekolah Cina, kini kondisi perigi terlihat sudah tidak terawat, dipenuhi sampah dan tanaman liar.
Penelusuran selanjutnya ke bekas sekolah rakyat. Dituturkan Djuni Rudy, setelah Jepang menutup sekolah Tionghoa, anak-anak Tionghoa bersekolah di sekolah rakyat ini. Sekolah ini dulunya banyak mencetak lulusan yang mahir berhitung dan menulis arab Melayu walaupun memiliki keterbatasan baik sarana maupun prasarana sekolah.
Penjajakan di Pulau Buluh berakhir di bekas kantor camat lama. Fisik kantor ini tidak ada lagi, sudah menjadi bangunan Taman Kanak-Kanak. Sebelum Belakang Padang dijadikan sebagai ibukota kecamatan pada tahun 1950 awal, di era kemerdekaan sentra pemerintahan kecamatan berada di Pulau Buluh.
“Katakanlah orang mau membuat KTP harus pergi ke Pulau Buluh,” tambah Edi.
Di lokasi kantor camat ini dulunya juga terdapat dua buah meriam dan pada tahun 1954 meriam dipindahkan ke Belakang Padang. Kepindahan meriam tersebut juga merupakan akhir dari pusat pemerintahan di pulau Buluh. Kini kedua meriam yang merupakan salah satu bukti sejarah itu berada di museum Batam Raja Ali Haji.
Perjalanan ekspedisi dilanjutkan ke Pulau Boyan. Sama seperti pulau Buluh, pulau Boyan juga sama pentingnya. Dimasa lalu administrasi pemerintahan ada tiga, satu administrasi pemerintahan yang dipimpin oleh kerajaan Riau Lingga, yang kedua administrasi pemerintahan Belanda dan yang ketiga administrasi pemerintahan orang Tionghoa. Di pulau Boyan dulu terdapat kantor onder afdeling (sub distrik) yang dikepalai oleh seorang controller Belanda untuk mengawasi semua wilayah di Batam termasuk pulau Buluh dan sekitarnya. Di pulau ini rombongan ekspedisi menemukan beberapa jejak atau tapak-tapak yang terbuat dari batu bata.
Setelah mengunjungi pulau Boyan, rombongan melanjutkan perjalanan ke pulau Bulang Lintang. Di pulau ini rombongan mengunjungi makam Temenggung Abdul Jamal, bendahara kerajaan Melayu Riau yang berkuasa di wilayah Bulang Lintang , kecamatan Bulang, batam dan pulau-pulau sekitarnya. Di area ini juga terdapat makam istri Temenggung, yakni Raja Maimunah serta beberapa makam keluarga Temenggung Abdul Jamal lainnya.
Rangkaian perjalanan diakhiri dengan melihat benda-benda pusaka milik Temenggung Abdul Jamal yang disimpan di rumah ahli waris, diantaranya tombak, tongkat, keris dan lainnya.
Lurah pulau Buluh, Borhan menyampaikan apresiasi atas kegiatan yang dilakukan Disbudpar Kota Batam bersama asosiasi dan pelaku pariwisata untuk menelusuri kembali jejak sejarah yang ada di pulau Buluh.
“Apapun yang kita lakukan hari ini mudah-mudahan menjadikan kenangan untuk semua kita dan ingatan bagi siapapun yang datang ke pulau Buluh kelak. Harapan kami apa yang kita kerjakan hari ini bisa membantu pulau buluh khususnya dan mengangkat nama kecamatan Bulang tentunya.” Ucap Borhan.
Sementara Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam, Ardiwinata menyampaikan Pemerintah Kota Batam akan melakukan pemugaran makam Temenggung Abdul Jamal. Pemugaran dilakukan karena makam ini sebagai salah satu destinasi wisata sejarah Kota Batam dimana kelak makam ini diharapkan akan dikunjungi oleh wisatawan baik nusantara maupun mancanegara.
Katanya lagi, pihaknya akan terus mengupayakan agar benda-benda bersejarah peninggalan Temenggung Abdul Jamal yang namanya telah diabadikan sebagai nama stadion olah raga Batam tersebut dapat menjadi koleksi museum Batam, Raja Ali Haji.
“Kalau benda-benda peninggalan itu dititip di museum, pasti orang akan lebih banyak yang tau tentang peninggalan sejarah yang ada di pulau Bulang. Bahkan mereka juga akan tertarik untuk datang langsung kesana,” yakin Ardi.
Masih kata Ardi, dalam waktu dekat melalui Tim Ahli Cagar Budaya dirinya akan menyampaikan rekomendasi kepada Walikota untuk mendaftarkan cagar budaya ke Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
“Ada tiga yang kita rekomendasikan sebagai cagar budaya, prioritas pertama adalah perigi tua yang berada di pulau Buluh. Ini perlu kita lakukan agar sejarah tidak terlupakan dan hilang ditelan zaman,’ ujar Ardi.