“Tulisan ini, sebelumnya terpublikasi dalam jurnal Ilmu Pemerintahan tahun 2015. Namun, masih relevan saya perbaharui. Ketika ada permintaan mengisi kuliah umum di Palembang, Sumsel beberapa waktu lalu.”
Penulis: Rusdianto Samawa, Alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat)
_____
Apakabar hukum? apa kabar hakim? Apakabar peradilan? dan apakabar penegak hukum yang selalu klaim kebenaran?. Aku sendiri memiliki cerita khusus, betapa miris penegak hukum dan hakim berkompromi atas pesanan rezim.
Saat dilaporkan kasus UU ITE, berperkara di pengadilan selama 4 tahun lamanya sejak 2017 – 2020. Menteri KKP melaporkan atas pribadi. Tetapi, surat kuasa diberikan kepada cabang kekuasaan terkecil yakni bidang hukum kementerian Kelautan – Perikanan.
Dalam ilmu hukum pemerintahan, selama yang saya pelajari sejak menyelesaikan Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Mataram (ummat). Mestinya, bukan kepada struktur cabang kekuasaan surat kuasa pribadi. Tetapi, kepada Law Firm Independen diluar kekuasaan. Karena itu pribadi.
Namun, apapun itu, seorang pejabat menteri, birokrasi, Wamen, kepala daerah, hakim, penegak hukum dan siapapun yang menikmati upah gaji dari pemerintah, termasuk tenaga kontrak, honorer serta lainnya. Sebenarnya, tidak boleh antikritik. Dilarang juga, mencampuri urusan pribadi dengan urusan publik. Dilarang keras, melaporkan rakyat karena dikritik.
Masa rezim sekarang, selama 10 tahun ini, semua teori kekuasaan, sistem demokrasi, sistem administrasi pemerintahan dan sistem hukum pemerintahan, semuanya dilabrak total. Ilmu pengetahuan, etika dan moralitas diabaikan begitu saja..
Kasus korban UU ITE semasa rezim berkuasa 10 tahun ini, meningkat tiga ratus persen (300%}. Rakyat yang kritik kinerja, tugas dan fungsi pemerintah dianggap melawan dan makar.
Lucunya, semasa bersidang dari 2017 – 2020. Jadwal sidang ditentukan sekali seminggu, setiap Rabu. Namun, berbeda realitasnya. Ketika dipanggil Jaksa, lalu datang. Lalu tiba – tiba tidak jadi. Kemudian, diagendakan Minggu depannya. Kadang juga, bersidang tidak lama – lama, paling lama waktunya tiga puluh menit. Kemudian, pulang. Begitu seterusnya.
Pada suatu waktu, datang bersidang hari senin hadirkan pelapor. Tapi, waktu itu, pelapor tidak hadir karena sibuk tugas menterinya. Jaksa waktu itu, tidak perjelas waktunya kapan bersidang kembali. Selang dua hari, tepat hari Kamis, tiba – tiba Jaksa menelpon pagi hari menjelang siang, bahwa hari ini sidang. Aku kaget, tidak diberitau sang menteri akan hadir. Pengacara pun tidak mendapatkan informasi apapun.
Kemudian, aku bergegas menuju pengadilan ditemani pengacara satu orang. Tiba dipengadilan, ruang sidang diminta disterilkan. Beberapa pengamanan negara bekerja memakai detektor. Jadwal sidang pun berubah dari berbagai kasus.
Ternyata, datang sang menteri superhero. Aku sendiri heran, mengapa dalam ruang sidang pengadilan tempat pencari kebenaran dan keadilan harus ada sekat dan batas perlakuan antara pejabat dan rakyat biasa seperti aku.
Sejak itu, aku tak percaya dengan sistem hukum Indonesia. Saat itu, aku tak memiliki ruang objektif untuk mendapat keadilan. Akhirnya, aku pasrah dan berdoa. Semoga yang maha kuasa bisa membuka pintu keadilan. Bisa memberi hikmah dan kebajikan bahwa tulisan kritik itu amanat konstitusi dan diberikan kebebasan sepenuhnya atas pernyataan pendapat dimuka umum.
Sekelumit cerita diatas, mencoba refleksi kembali seputar peristiwa peradilan hakim dan pelanggar konstitusi saat ini. Betapa besar, harapan rakyat yang mewakili suara tuhan (Vox Populi Vox Dei) untuk menemukan keadilan dalam sistem negara, proses demokrasi, sistem pemilu dan ketaatan terhadap hukum.
Sementara, hakim dan jaksa merupakan predikat tangan Tuhan pembawa risalah hikmah keadilan. Semoga harapan keadilan itu masih dominasi jiwa raga kehakiman agar menggunakan nurani dan rasa welas asih.
Namun, melihat fakta atas peristiwa yang ada. Ternyata, hakim tidak memakai prinsip keadilan bagi semua. Termasuk, tidak melibatkan nurani, jiwa dan raga dalam pengambilan keputusan hukum dan konstitusi. Malah, pentingkan keluarga, kerabat dan jejaring kuasa.
Sala satu paling viral, hakim konstitusi yang memutus syarat Capres – Cawapres yang melanggar konstitusi tertulis (UU Kehakiman) dan tidak tertulis (melanggar etik dan moralitas). Faktanya, dijatuhi hukuman melanggar etik dan dipecat menjadi ketua mahkamah. Namun, pelanggar etik itu bisa ajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berusaha batalkan putusan MKMK. Padahal, etika dan moralitas itu paling berat dibanding hukum tertulis, karena tidak akan lagi mendapat kepercayaan penuh dari rakyat.
Padahal, pemimpin negara ini sedang menjalankan program revolusi mental. Agenda itu tengah berlangsung hingga saat ini. Tetapi, hakim yang memiliki hubungan keluarga tak lagi perhatikan agenda revolusi mental itu. Demi jadikan keluarga cawapres 2024. Ternyata bagi rakyat, keadilan, persamaan hukum dan sikap konstitusional itu lebih mudah dapatkan diluar pengadilan. Rakyat demonstrasi tuntut hak negara saja, perlu taat hukum. Kalau tidak kena tangkap.
Fenomena sikap hakim dan penegak hukum diluar asas keadilan, berdampak pada gelombang beda pendapat, sikap dan tindakan yang menyebabkan runtuhnya pilar – pilar bernegara. Sejumlah fakta, alami kecurangan pemilu, menjungkir balikkan konstitusi, mengebiri sikap oposisi dan sandera politik yang bermasalah.
Beberapa tahun silam, tatanan hukum yang sudah sangat mapan, hancur akibat kekuasaan politik yang tak dilandasi nilai moral. Keadaban hakim dibongkar paradigmanya. Hampir semua kasus disandera jadi tahanan politik, kawan koalisi dirangkul dan kawan berlawanan dihabisi. Itulah perubahan tindakan dari pemimpin negara yang tak mengerti nilai-nilai keadaban. Tentu, berimbas pada praktek peradilan hukum dan tindakan hakim.
Pemimpin dan kekuasaan tidak mentarget sistematika revolusi mental untuk kembalikan posisi penting etika dan moralitas sehingga wewenang nyaris tanpa kendali. Kondisi sekarang, revolusi mental hakim (Red: etika dan moralitas) pepesan kosong tanpa hasil apapun. Karena orientasi hakim atas penggunaan hukum dan konstitusi hanya pertahankan eksistensi klan keluarga dan jejaring oligarki.
Masih segar dalam ingatan, buku merah para pejabat di lembaga antirasuah, berakhir hanya pada opini. Perang terbuka antar lembaga negara. Walaupun ada yang ditetapkan tersangka oleh penegak hukum. Berbagai pendapat prokontra, sampai pada titik kesimpulan lembaga penegak hukum harus hadapi resiko hukum juga.
Pengubahan konstitusi melalui putusan pesanan sesuai kepentingan akan mengantar negara pada kehancuran dan menjauhkan keadilan dari pengambil keputusan hukum. Coba saja tengok proses praperadilan para pelaku kejahatan korupsi, mereka leluasa melakukan proses praperadilan sehingga berdampak besar pengaruhnya terhadap lembaga penegak hukum yang ditandai oleh banyaknya pelaku tindak pidana korupsi melakukan upaya praperadilan.
Di sisi lain, sikap adiluhung pada penegak hukum dan hakim harus hadirkan rasa keadilan sebagai poros perubahan peradaban yang berkeadaban. Jangan persempit ruang keadilan hukum, kejahatan dibiarkan jadi tontonan, siapa kuat itu yang menang. Siapa paling menonjol bisa menggeser kepemimpinan lembaga penegak hukum.
Indriyanto Seno Adji dalam artikelnya di Kompas (5/6/2015) katakan hukum yang baik tidak terletak pada apa yang tertulis secara indah, tetapi apa yang telah diimplementasikan dengan baik oleh aparatur hakim dan penegak hukum. Dalam sistem peradilan, hubungan hukum dengan hakim memiliki irama searah, baik itu untuk kepastian hukum maupun tuntutan keadilan bagi masyarakat. Hukum dan hakim itu ibarat hubungan antara orangtua dan anaknya, terikat suatu hubungan yang dinamis, karena itu perkembangan segala permasalahan hukum akan senantiasa terlihat pada peran aktif dari hakim.
Namun, peran aktif hakim sebagai kebebasan, selayaknya tidak dimaknai tanpa batas karena kebebasan miliki batasan yang tidak timbulkan penyalahgunaan dan sewenang-wenang. Dari banyak kasus, perbuatan yang sengaja untuk merugikan pihak lain bertujuan untungkan diri sendiri. Sekalipun di selimuti oleh berbagai cara yang menurut hukum itu sah, tetapi itu disadari kejahatannya. Maka hakim itu layak di hukum.
Dalam banyak kasus Praperadilan. Tengok saja, kasus korupsi yang diberikan hak pada para tersangka oleh hakim dengan mengabulkan tuntutan agar dibebaskan dari status tersangka. Anehnya, level korupsi tinggi bahkan triliun menang praperadilan. Sementara kasus masyarakat kecil seperti nenek Ronggeng (inisial) dimalang beberapa waktu silam berniat praperadilan oleh lawyer yang mendampinginya, tetapi mendapat penolakan dari majelis hakim. Padahal nenek Ronggeng hanya mengambil mangga hendak berbuka puasa. Jauh perbandingan antara hukum berkeadilan dan beradab.
Kasus Land Reform Agraria, tanahnya dirampas oleh keluarga atas program sertifikat, diarahkan pada pengadilan untuk batalkan sertifikat. Namun, aneh, hakim menangkan penjahat pengemplang tanah orang lain. Ada positif dan negatifnya terbukanya upaya praperadilan. Positifnya menguntungkan pejabat yang melakukan accupational crime dan negatifnya merugikan masyarakat dari seluruh kasus yang ada.
Padahal kita semua tahu, hakim hidup dibumi, bergaul dan berhubungan sesama manusia. Menurut keyakinan agama yang dianut sebagai sumber hukum, tugas utama hakim adalah menegakkan hukum berkeadilan tinggi (high justice law) dan tugas hakimpun dapat dimintai pertanggungjawaban oleh manusia atau lembaga penegak hukum lainya (baca:rakyat).(*)