Oleh: Ani Purwati
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
DI ZAMAN modern yang serba terhubung saat ini, konsep identitas, pengakuan, dan dinamika sosial semakin terasa rumit dan kompleks. Kehadiran media sosial telah mengubah cara kita membentuk dan mengekspresikan siapa diri kita, menciptakan ruang baru untuk mendapatkan pengakuan, serta mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain. Fenomena ini, yang dipicu oleh kemajuan teknologi dan perubahan budaya yang begitu cepat, menuntut kita untuk lebih memahami hubungan dan identitas dalam kehidupan sosial. Sangat penting untuk memahami bagaimana ketiga konsep tersebut saling terkait dan membentuk pengalaman kita dalam dunia digital yang kini begitu berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
Media sosial telah menjadi ruang bagi individu untuk mengatualisasikan dirinya dengan membentuk dan mengekspresikan identitas, mendapatkan pengakuan, serta berinteraksi dengan orang lain secara lebih terbuka. Fenomena aktualisasi diri yang kita temui di media sosial ini menjadi semakin menarik untuk dipelajari.
Dalam konteks ini, pemikiran dua tokoh yaitu Axel Honneth dan Anthony Giddens, relevan dalam memberikan wawasan yang lebih dalam mengenai bagaimana identitas, pengakuan, dan dinamika sosial saling berinteraksi dalam masyarakat modern melalui media sosial.
Axel Honneth menekankan pentingnya pengakuan dalam pembentukan identitas individu. Menurutnya, individu hanya dapat mencapai aktualisasi diri melalui pengakuan dari orang lain dalam suatu komunitas. Di media sosial, pengakuan ini hadir dalam berbagai bentuk, seperti like, komentar, dan pengikut dalam postingan yang dibuat oleh para penggunanya.
Hal ini menjadi penanda eksistensi dan validasi diri. Sementara itu, Anthony Giddens mengajukan gagasan bahwa identitas di masyarakat modern bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terbentuk melalui interaksi sosial yang terus berkembang. Di media sosial, identitas individu menjadi dinamis karena terus diperbaharui berdasarkan umpan balik sosial dari audiens dan interaksi digital yang terjadi.
Dengan menghubungkan pemikiran Honneth dan Giddens, kita dapat lebih memahami bagaimana media sosial berperan penting dalam membentuk identitas dan dinamika sosial, serta bagaimana individu berusaha mendapatkan pengakuan secara digital di dunia maya, yaitu media sosial. Fenomena ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan perubahan budaya yang pesat, memunculkan tantangan baru bagaimana cara kita memahami hubungan sosial dan identitas di era modern ini.
Rekognisi dan Aktualisasi Diri dalam Media Sosial: Perspektif Honneth
Fenomena aktualisasi diri pengguna media sosial dapat dikaitkan dengan gagasan Axel Honneth tentang pentingnya rekognisi atau pengakuan akan eksistensi subjek dalam komunitas sosial. Dalam konteks media sosial, platform-platform digital seperti Instagram, Twitter, dan TikTok sering kali menjadi ruang alternatif bagi individu untuk memperoleh pengakuan yang mungkin tidak mereka dapatkan di dunia nyata.
Menurut Honneth (2009) pengakuan merupakan kebutuhan dasar. Tanpa pengakuan, individu sulit merealisasikan dirinya, yang berpotensi menghambat perkembangan personal maupun sosial. Axel Honneth, menyatakan bahwa pengakuan terhadap eksistensi individu dalam suatu komunitas adalah hal yang fundamental untuk aktualisasi diri. Tanpa adanya pengakuan ini, seseorang tidak bisa sepenuhnya mewujudkan potensinya.
Pandangan mengenai pengakuan sebagai kebutuhan dasar Honneth ini sejalan dengan kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri dalam teori Maslow. Dalam konteks Maslow, kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) sangat berhubungan dengan pengakuan. Penghargaan diri yang sehat dan pengakuan dari orang lain merupakan dasar yang memungkinkan seseorang untuk merasa dihargai dan diakui, yang pada akhirnya memperkuat rasa percaya diri dan motivasi untuk tumbuh.
Hal ini sejalan dengan pandangan Honneth, yang menekankan bahwa pengakuan adalah prasyarat untuk aktualisasi diri. Ketika individu menerima pengakuan dari orang lain, baik itu dalam bentuk pengakuan sosial, prestasi, atau status, mereka dapat mengembangkan rasa percaya diri dan kemauan untuk terus berkembang menuju pencapaian potensi penuh mereka.
Kebutuhan akan aktualisasi diri dalam Maslow, berfokus pada pencapaian potensi maksimal dan pemenuhan diri, tidak bisa dicapai tanpa adanya pengakuan.
Pengakuan, dalam hal ini, menjadi fondasi bagi seseorang untuk merasa bahwa mereka memiliki tempat dalam masyarakat dan bahwa usaha mereka dihargai. Oleh karena itu, konsep pengakuan Honneth dapat dipandang sebagai elemen yang saling melengkapi dengan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri dalam hierarki Maslow, karena keduanya bersama-sama mendukung proses perkembangan pribadi yang lebih tinggi.
Dalam kehidupan nyata, pengakuan ini biasanya datang melalui hubungan sosial langsung dengan orang lain. Namun, di era digital ini, media sosial telah menciptakan ruang baru bagi individu untuk mendapatkan pengakuan, yang mungkin tidak mereka temui dalam interaksi tatap muka. Media sosial seperti Instagram, Twitter, dan TikTok menyediakan ruang terciptanya “rekognisi digital,” dimana pengguna memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan diri, berbagi pengalaman, dan menerima validasi dalam bentuk komentar, likes, atau jumlah pengikut.
Hal ini semakin menunjukkan kaitan yang erat antara kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri dengan penggunaan media sosial, terutama dalam konteks pengakuan yang dibahas oleh Honneth dan teori kebutuhan Maslow. Media sosial, sebagai platform yang memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan orang lain, media social memberikan ruang bagi orang untuk memenuhi kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri mereka.
Kebutuhan akan Penghargaan melalui Media Sosial
Di media sosial, individu sering kali mencari pengakuan dari orang lain melalui like, komentar, jumlah pengikut, dan bentuk interaksi lainnya. Ini sesuai dengan konsep penghargaan diri (self-esteem) dan penghargaan dari orang lain (esteem from others) dalam teori Maslow. Pengguna media sosial berusaha untuk dihargai dan diakui atas apa yang mereka bagikan, baik itu prestasi, pendapat, atau identitas mereka. Sebagai contoh, seseorang yang memposting pencapaian atau konten kreatif dapat memperoleh pengakuan melalui interaksi sosial seperti komentar positif atau berbagi konten.
Fenomena ini memungkinkan individu merasa dihargai dan diakui oleh orang lain, yang akan memberikan kepuasan diri serta meningkatkan rasa percaya diri dan dapat memenuhi kebutuhan akan penghargaan. Menurut Honneth, pengakuan dari orang lain di media sosial membantu individu untuk mengkonfirmasi nilai diri mereka secara sosial. Tanpa pengakuan tersebut, individu mungkin merasa terisolasi atau kurang dihargai, yang dapat menghambat perkembangan pribadi dan sosial.
Media sosial, dengan kemampuan untuk memberikan pengakuan secara langsung, dapat menjadi saluran utama untuk memenuhi kebutuhan ini di era sekarang, meskipun ada juga potensi bahaya terkait ketergantungan pada validasi eksternal yang tidak selalu mendalam atau berkelanjutan.
Selain pengakuan, media sosial juga memberikan platform untuk aktualisasi diri. Dalam konteks teori Maslow, aktualisasi diri merujuk pada proses pencapaian potensi penuh dan pemenuhan tujuan hidup seseorang. Media sosial memungkinkan individu untuk mengekspresikan dan memperbaharui identitas mereka, berbagi pencapaian, karya seni, atau ide-ide yang mencerminkan perkembangan dan potensi pribadi mereka.
Misalnya, seorang seniman dapat memposting karya-karya mereka di Instagram atau TikTok untuk mendapatkan pengakuan dan menunjukkan bakat mereka kepada audiens yang lebih luas. Ini tidak hanya memberi ruang bagi mereka untuk memperoleh pengakuan, tetapi juga membantu mereka merasa bahwa mereka telah mencapai bagian dari potensi mereka.
Namun, pengakuan dari masyarakat melalui media sosial sering kali bersifat sementara dan bergantung pada tren, algoritma, dan norma sosial tertentu. Oleh karena itu, meskipun media sosial dapat membantu dalam pencapaian aktualisasi diri, ada risiko bahwa aktualisasi diri yang dicapai melalui media sosial mungkin lebih bersifat dangkal atau tergantung pada validasi eksternal yang tidak stabil.
Prinsipnya media sosial berfungsi sebagai alat yang mempercepat pemenuhan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri.
Pengakuan yang diterima di platform-platform ini memberi dampak besar pada bagaimana individu memandang diri mereka dan berusaha untuk mencapai potensi penuh mereka. Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun media sosial menyediakan ruang bagi kedua kebutuhan ini, ada tantangan dalam menjaga keseimbangan antara validasi eksternal dan pengembangan diri yang lebih dalam.
Honneth menyebut rekognisi ini sebagai social grammar, yaitu suatu kondisi sosial yang memungkinkan individu untuk saling memperhatikan dan memberikan perhatian. Di media sosial, pengakuan ini sering kali terwujud dalam bentuk viralitas atau solidaritas digital.
Melalui cara ini, pengguna media sosial bisa merasa dihargai dan diterima oleh orang lain. Tapi, tentu saja, ini menimbulkan pertanyaan apakah pengakuan semacam ini cukup untuk mendukung aktualisasi diri yang lebih dalam, atau justru malah menciptakan ketergantungan pada pengakuan yang sifatnya sementara?
Identitas sebagai Proses Dinamis: Perspektif Giddens
Menurut Antony Giddens (1991), identitas diri dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk menceritakan kisah tentang dirinya sendiri, yang menggambarkan perasaan dan pengalaman secara konsisten dari waktu ke waktu. Giddens menyatakan bahwa identitas bukanlah suatu hal yang tetap atau sekadar kumpulan sifat-sifat tertentu, melainkan sebuah narasi yang terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Setiap individu berusaha membangun cerita tentang dirinya yang menghubungkan pengalaman masa lalu dengan harapan untuk masa depan. Identitas diri ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan penting seperti: Apa yang telah dilakukan? Bagaimana cara melakukannya? Siapa saya sebenarnya? Dalam proses ini, individu menciptakan sebuah lintasan hidup yang mencerminkan perjalanan dan perkembangan diri mereka, bukan hanya sifat-sifat yang dimiliki, tetapi juga refleksi diri yang lebih dalam mengenai siapa mereka dalam konteks perjalanan hidup mereka.
Anthony Giddens, selanjutnya menjelaskan bahwa identitas itu bukan sesuatu yang statis, melainkan sebuah proses yang terus berkembang seiring waktu, dipengaruhi oleh interaksi sosial dan refleksi diri. Di dunia digital ini, media sosial menjadi tempat utama dimana kita bisa membentuk dan memperbaharui identitas kita. Kita tidak hanya menunjukkan siapa diri kita lewat postingan atau gambar yang dibagikan, tetapi juga melalui bagaimana kita merespons feedback dari audiens-teman-teman, pengikut, atau masyarakat luas. Interaksi yang terjadi di media sosial memberikan kesempatan bagi kita untuk menyesuaikan identitas dengan realitas sosial yang ada.
Giddens juga mengemukakan konsep refleksi diri (self-reflexivity), setiap individu secara aktif menilai dan mengatur kehidupannya. Proses ini diperkuat oleh media sosial, yang memberi feedback dalam bentuk likes, komentar, dan pengikut, yang mempengaruhi bagaimana kita memandang diri sendiri. Dengan begitu, media sosial menjadi alat yang sangat kuat dalam memperbaharui dan menjaga identitas kita, seiring dengan perkembangan interaksi sosial yang terjadi.
Ditinjau dari konsep identitas diri menurut Giddens. Media sosial memberikan ruang bagi individu untuk menceritakan kisah hidupnya, baik melalui postingan, gambar, maupun video. Setiap unggahan dan interaksi di platform seperti Instagram, Twitter, atau TikTok menjadi bagian dari narasi identitas individu penggunanya. Pengguna media sosial tidak hanya berbagi momen pribadi, tetapi juga berusaha mengkonstruksi cerita tentang siapa diri, apa yang dilakukan, dan bagaimana individu ingin dilihat oleh orang lain. Melalui media sosial, individu dapat merefleksikan perjalanan hidupnya, membagikan pencapaian, pengalaman, serta nilai-nilai yang dipegang.
Namun, seperti yang dijelaskan oleh Giddens, identitas diri bukanlah sesuatu yang tetap. Di media sosial, identitas ini bisa berubah seiring waktu, tergantung pada pengalaman dan umpan balik yang diterima dari orang lain. Interaksi di dunia maya memberikan kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai aspek dari dirinya, sekaligus selanjutnya merespons cara orang lain memandang mereka, yang kemudian menyesuaikan identitasnya dengan respon yang diterimanya di media sosial.
Dengan demikian, media sosial menjadi alat yang memungkinkan pembentukan dan pembaruan identitas secara dinamis, seiring dengan perjalanan hidup individu yang terus berkembang.
Identitas dan Aktualisasi Diri
Di dunia yang semakin terhubung ini, identitas kita tidak hanya dibentuk oleh interaksi sosial di dunia nyata, tetapi juga oleh media, khususnya media sosial. Giddens menyoroti bagaimana media, baik tradisional maupun digital, berperan penting dalam pembentukan identitas diri.
Di media sosial, kita sebagai pengguna memiliki kebebasan untuk membangun narasi tentang siapa diri kita dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain. Identitas yang dibentuk di media sosial menjadi semakin kompleks karena dipengaruhi oleh banyak factor, diantaranta persepsi publik, interaksi sosial, dan bahkan algoritma yang ada di balik platform itu sendiri.
Namun, di balik kebebasan ini, ada juga tekanan sosial untuk memenuhi norma-norma tertentu yang ada di dunia maya, seperti mengikuti tren atau memenuhi ekspektasi dari audiens. Tekanan ini sering kali datang dalam bentuk harapan sosial yang dibentuk oleh norma-norma yang berkembang di dunia maya. Maka dari itu, meskipun media sosial menawarkan kebebasan untuk mengekspresikan diri, proses aktualisasi diri kita juga menjadi lebih kompleks, karena kita harus menyeimbangkan antara menjadi diri sendiri dan memenuhi harapan publik yang ada di sekitar kita.
Bahkan bisa jadi agar memenuhi harapan publik dan mendapat pengakuan, aktivitas aktualisasi diri media sosial ini, tidak sedikit individu yang pada akhirnya “mengada-ngada” dan menjadi sosok orang lain yang berbeda dengan dirinya yang asli didunia nyata, hanya demi mendapat pengakuan dan validasi semata.
Fenomena pengakuan, identitas dan aktualisasi diri ini menjadi dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat di dunia modern ini sangat erat kaitannya dengan cara kita memanfaatkan media sosial. Pemikiran Honneth tentang rekognisi menunjukkan bahwa pengakuan merupakan elemen penting dalam aktualisasi diri, sementara Giddens memberi wawasan tentang bagaimana identitas kita terus berkembang melalui interaksi sosial yang kita jalani, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Media sosial menjadi ruang dimana kita bisa merefleksikan diri dan memperbaharui identitas kita, meskipun ada tekanan sosial yang harus dihadapi. Dalam dunia digital yang terus berkembang pesat, kita harus lebih bijak dalam membentuk identitas dan mengaktualisasikan diri, terutama di media sosial.
Jangan sampai proses ini hanya menjadi upaya untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosial semata, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan emosional dan perkembangan pribadi. Sebagai individu, kita perlu lebih sadar akan nilai sejati dalam membangun identitas yang asli diri sendiri, yang tidak hanya bergantung pada pujian atau perhatian dari orang lain.
Sebaiknya, gunakan media sosial sebagai sarana untuk mengembangkan potensi diri, berbagi pemikiran, dan berinteraksi dengan orang lain secara positif. Pengakuan dari orang lain memang penting, tetapi yang paling penting adalah pengakuan yang datang dari diri sendiri, bukan hanya sekadar berdasarkan validasi eksternal. Dengan sehingga harapannya, terbangun identitas diri yang lebih sehat dan menjadi diri sendiri, serta sesuai dengan tujuan hidup individu masing-masing, tanpa terjebak dalam tekanan sosial yang bisa saja merugikan diri sendiri, bahkan keluarga dan orang-orang terdekat.(*)