Ketika Jam Mewah Berujung Gugatan: Kolektor Senior Gugat Richard Mille ke Pengadilan

0
830
Keterangan Foto : Heroe Waskito

Jakarta –batamtimes.co –  Richard Mille selama ini dikenal sebagai simbol kemewahan tertinggi di dunia jam tangan. Proses pembelian jam-jam edisi terbatasnya bahkan kerap melibatkan relasi khusus, reputasi, dan kesabaran panjang. Namun, bagi kolektor kawakan Tony Trisno, pengalaman itu justru berujung ke meja hijau.

Sejak 2019, Tony memesan dua jam tangan ultra langka RM 57-03 Black Sapphire Dragon dan RM 56-02 Blue Sapphire Unique Piece melalui butik resmi Richard Mille di Jakarta. Total nilainya fantastis: SGD 6,9 juta atau lebih dari Rp80 miliar. Selama lebih dari dua tahun, pembayaran ia lakukan bertahap, semua via butik yang sama, tanpa melibatkan pihak lain.

Namun, masalah muncul setelah pembayaran lunas. Tony diberi tahu bahwa kedua jam tangan itu harus diambil di Singapura, bukan di Jakarta sebagaimana pengalamannya sebelumnya. Bagi Tony, ini bukan cuma soal logistik, tapi menyentuh prinsip dasar transaksi: tanggung jawab penyerahan yang tiba-tiba berubah tanpa kesepakatan.

Tony pun membawa kasus ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Gugatan perdata itu tercatat dengan nomor 844/Pdt.G/2024/PN Jkt.Utr.

“Klien kami sudah penuhi semua kewajiban, tapi setelah lunas, justru diarahkan ke luar negeri. Ini preseden buruk bagi transaksi barang mewah di Indonesia,” tegas Heroe Waskito, Managing Partner Catra Indhira Law Firm yang mewakili Tony.

Menurut Heroe, jika praktik ini dianggap wajar, konsumen berisiko kehilangan perlindungan hukum. “Hari ini jam tangan, besok bisa mobil atau karya seni. Nilainya tidak kecil,” imbuhnya.

Upaya mediasi di pengadilan pun kandas. Pada April 2025, proses mediasi dinyatakan gagal, dan sidang berlanjut ke tahap pembuktian. Pihak Tony menyatakan siap membawa seluruh bukti pembayaran, percakapan, hingga dokumen administrasi ke pengadilan.

Heroe menegaskan, perkara ini bukan soal kualitas atau keaslian jam tangan, melainkan soal hak konsumen atas kepastian dalam transaksi resmi yang dijalankan melalui butik di Indonesia.

Kasus ini memunculkan pertanyaan lebih luas soal perlindungan konsumen dalam transaksi barang mewah lintas negara. Di banyak kasus, pembeli barang bernilai tinggi dianggap paham risiko. Tapi sejauh mana risiko itu wajar jika bahkan mekanisme dasar seperti penyerahan barang bisa berubah sepihak?

Sidang masih berjalan, dan belum ada putusan. Namun, kasus ini membuka ruang diskusi baru tentang etika bisnis barang mewah, tanggung jawab entitas yang menjalankan merek global, serta hak konsumen bernilai tinggi yang kerap luput dari perhatian.

Dalam sistem hukum, nilai yang dipertaruhkan bisa lebih besar dari harga barangnya: kepercayaan, kepastian, dan hak konsumen yang harus dijaga.

Penulis : Tanto

Editor : Pohan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here