Batam – Pekerja Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) kecewa atas keputusan Pemerintah yang memperpanjang kontrak pengelolaan blok Corridor kepada kontraktor eksisting, yaitu ConocoPhillips untuk 20 tahun ke depan mulai tahun 2023.
Keputusan tersebut telah melanggar Permen ESDM nomor 15 tahun 2015 setelah Permen ESDM nomor 23 tahun 2018 dibatalkan oleh hasil gugatan FSPPB ke Mahkamah Agung pada November 2018 lalu.
Maka semua kebijakan Kementerian
ESDM harusnya berpedoman pada Permen ESDM nomor 30 tahun 2016 dan
Permen ESDM nomor 15 tahun 2015 yang memberikan hak istimewa kepada
Pertamina untuk menjadi operator blok migas yang akan berakhir kontrak kerja
samanya.
FSPPB meminta pemerintah harus mempertimbangkan alasan-alasan
kenapa harus menunjuk Pertamina 100% dalam pengelolaan blok migas
terminasi antara lain. Alasannya, memperbesar kontribusi NOC dalam produksi migas nasional sehingga meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi; pertamina adalah BUMN, yang berarti 100 persen keuntungan akan masuk ke negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Pertamina sudah terbukti dan berpengalaman mengelola blok di onshore maupun offshore hasil alih kelola sebelumnya, bahkan mampu meningkatkan produksi migas di blok-blok tersebut .
Keputusan ini juga akan menyandera Pertamina dalam pengelolaan Blok Rokan
karena ketergantungan supply gas dari Blok Corridor, dimana supply gas
tersebut amat vital dalam operasional Blok Rokan dan Kilang Dumai. Saat ini Blok
Corridor menyumbang sekitar 17% dari total produksi gas di Indonesia, hingga
April 2019, produksi gas Lapangan Grisik, Blok Corridor, mencapai 1.028 mmscfd
(1 BCF per hari). Sedangkan lifting gas sebesar 834 mmscfd.
Para pejabat pengambil keputusan tidak paham amanat pasal 33 UUD 1945.
Menteri ESDM mengabaikan kedaulatan energi dan hanya mengedepankan aspek
bisnisnya saja dalam pengelolaan blok migas.
Kementerian ESDM juga tidak
mampu melawan intervensi asing khususnya Amerika Serikat dalam mengambil keputusan strategis untuk kepentingan bangsa.
FSPPB menyayangkan Kepala SKK Migas sebagai mantan Dirut Pertamina yang
seharusnya paham bisnis migas dan kondisi internal Pertamina tidak berpihak
kepada Pertamina.
FSPPB juga kecewa dengan kinerja direksi dan komisaris Pertamina yang tidak berusaha keras memperjuangkan pengambilalihan blok Corridor 100 persen Pertamina. Seperti diketahui Wakil Komisaris Utama Pertamina juga menjabat sebagai Wakil Menteri ESDM.
Keberadaan Direksi Pertamina yang bukan berasal dari internal Pertamina
terbukti tidak memberikan dampak penguatan terhadap bisnis Pertamina bahkan cenderung lembek menghadapi kebijakan-kebijakan Pemerintah yang tidak pro kepada Pertamina dan kedaulatan energi.
Pertamina butuh direksi dan komisaris yang struggle, karena tantangan dunia migas kedepan sangat berat. Banyak upaya-upaya pengkerdilan Pertamina oleh pihak pihak tertentu.
Selain itu, Pertamina juga butuh direksi dan komisaris yang mencintai Pertamina serta bisa bekerja sama dengan FSPPB dalam upaya menjaga kelangsungan bisnis perusahaan.
Atas kekecewaan tersebut maka FSPPB mendesak, Pemerintah membatalkan keputusan perpanjangan Kontrak Kerja Sama Wilayah Kerja Blok Corridor kepada ConocoPhillips yang selanjutnya memberikan 100 persen hak pengelolaannya kepada PT Pertamina (Persero), Kementerian BUMN segera mengganti Direktur Utama dan Direktur Hulu PT PERTAMINA (Persero) karena telah gagal merebut blok Corridor, KPK segera melakukan audit investigasi atas keputusan Menteri ESDM tersebut
Rencananya, apabila tuntutan tidak dipenuhi maka FSPPB akan melakukan “perenungan kreatif”.
Seluruh pekerja Pertamina dari Sabang sampai Merauke secara serentak akan meninggalkan pekerjaannya beberapa jam untuk bersama sama merenung. “Apa yang salah dengan pekerja, apa dosa rakyat Indonesia sehingga Pemerintah lebih pro kepada Perusahaan Migas asing,” kata Presiden FSPPB, Arie Gumilar, (30/7).
(red/Nila)
(red/Nila)